Selasa, 13 Januari 2009

ARTEFAK BADUY




OJOL BARTER DAN PERNIAGAAN

Sejak masa lampau orang Baduy sebenarnya telah berkomunikasi dengan masyarakat luar. Untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari seperti minyak kelapa, garam , ikan asin, pakaian, biasanya mereka seminggu sekali pergi ke pasar Kroya atau Cibengkung untuk “Ojol” (barter) dengan hasil kerajinan tangan dan hasil hutan tradisional rotan, lilin, lebah madu.

Hasil pertanian yang sejak dulu menjadi komoditas mereka ialah gula aren dan pisang. Hasil alam itu kemudian mereka tukarkan dengan “nilai” yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Bagi orang Baduy, pasar memiliki dua fungsi, selain sebagai tempat bertransaksi, juga menjadi pusat berkomunikasi dengan masyarakat luar. Perkembangan zaman yang semakin pesat, serta semakin seringnya berhubugan dengan masyarakat luar membuat masyarakat Baduy juga mulai meninggalkan praktek “Ojol” menjadi system yang lebih praktis : jual-beli. Maka sekarang uangpun merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Baduy sehari-hari.

Keterbatasan kemampuan berhitung tidak mengambat aktivitas mereka. Masyarakat luar “bahkan penjaja” umumnya tak keberatan untuk membantu mereka menghitung. Kadang beberapa penduduk kampung sekitar Cikeusik, Cibeo dan Cikertawana juga datang ke kampung Baduy menjajakan beberapa bahan-bahan pokok yang diperlukan.

BADUY, RAWAYAN, DAN TANAH SEJUTA LARANGAN

Istilah Baduy dipakai karena seringnya kata itu dipakai untuk menamai penghuni tanah Kenekes tersebut. Pada mulanya sebutan Baduy sangat tidak disukai oleh mereka yang sudah ratusan tahun turun temurun menetap di kawasan itu. Mereka lebih senang disebut “Urang Kanekes” uarang Rawayan dari pada “Baduy” / Rawayan, sebenarnya adalah jembatan bambu yang menghubungkan antara satu kampung dengan kampung lainnya.

Namun istilah Baduy selalu dipakai oleh masyarakat luar untuk menyebut mereka. Sedangkan mereka selalu mengistilahkan orang luar sebagai “orang Eslam”, lantaran masyarakat yang bermukim di luar desa Kanekes seluruhnya beragama Islam.

Secara tradisional masyarakat Baduy di bagi menjadi dua kelomok. Pertama adalah masyarakat “Kajeroan” atau “Tangtu” yang sering disebut sebagai Baduy dalam. Kedua adalah masyarakat “panamping” atau “Dangka” yang biasa disebut sebagai Baduy Luar. Yang membedakan keduanya adalah ketaatan pada pkukuh adat.

Orang Baduy Tangtu lebih taat dalam menjalankan semua “Pikukuh” adat, rukun adat serta agama Sunda Wiwitan yang mereka peluk. Sedangkan orang Baduy Luar adalah masyarakat yang karena berbagai alasan telah banyak mengingkari bahkan melanggar aturan adat, karena itu mereka tidak dibolehkan lagi bermukim di kampung Baduy Dalam.

Ada tanda-tanda tertentu yang harus dibuat bila seorang Baduy Luar masuk ke kampung Baduy Dalam. Tanda tersebut berupa rumput alang-alang yang diikat di jalan setapak, sebagai bukti mereka telah menginjak tanah suci leluhurnya.

Bagi mereka ,”Pikukuh” leluhur tidak terbanth serta tak boleh luntur dlam era apapun. Ketaatan dalam menjalankan pikukuh adat serta ketaatan warga Baduy tangtu pada agama dan adat leluhur warisan nenek moyang terasa jelas dalam pelaksanaan berbagai upacara ritual.

Antra lain upacara “Kawalu” serta “Muja ke Sasaka Domas”. Begitu juga dlam proses “mengobati” padi, yang semarak penuh tuturan serta diiringi pantun bermusik rendo dan tiupan karinding. Sebuah upacara yang mereka maksudkan untuk memuliakan dewi padi, Sri Pohari Sanghyiang Asri.

Kengganannya “karena alasan adapt” berdabtasi pada dunia luar pula yang menyebabkan orang Baduy hidup dengan cara bertaninya sendiri. Mereka terus bertahan menjadi peladang lahan kering di bukit-bukit, serta pantang mengolah sawah. Karena itulah kadang batas antara tanah masyarakat Baduy dan “orang Eslam” ditandai dengan batas antara tanah sawah dengan ladang kering.

PUUN, JARO DAN KEPALA DESA

Dalam kehidupan sosial masyarakatnya, Baduy Tangtu dipimpin oleh seorang Puun. Puun merupakan pimpinan tertinggi. Segala keputusannya merupakan hukum yang harus ditaati oleh seluruh warga Baduy.

Puun Cikeusik merupakan Puun yang dituakan. Walaupu demikian, segala keputusan harus disetujui bersama oleh tiga Puun, atau setidaknya disetujui oleh Puun Cibeo yang bertugas sebagai penasihat Puun Cikeusik.

Jabatan Puun diwariskan secara turun-temurun. Puun yang diyakini masyarakatnya sebagai keturunan Batara (Dewa) sangat dihormati dan disegani. Sedangkan peritahnya tidak terbantah. Masa jabatannya tidak terbatas biasanya, bisa sampai meninggal dunia. Namun bisa juga Puun mengundurkan diri karena usianya telah lanjut.

Puun Ajal sudah menjadi Puun Cibeo beberapa puluh tahun. Dia megatakan sebenarnya sudah ingin diganti. Menurutnya, beban yang ditanggungnya berat. Dialah yang menjadi rujukan masyarakatnya sehari-hari, selama dua puluh empat jam. Mulai dari memimpin upacara yang paling sakral seperti zirah ke Sasaka Domas, hingga tempat bertanya soal segala hal.

Puun-lah yang memberikan nama pada setiap anak Baduy yang baru lahir, menetapkan hari baik kapan menanam padi serta kapan “ ngalanjak” (berburu) untuk upacara Kawula. Semua itu merupakan tugas rutin Puun.

Puun dingakat oleh lembaga tetua adat yang disebut Tangkesan setelah dihitung secara teliti menurut ilmu kebatian oleh Dukun Pengasuh. Untuk pengangkatan Puun Cikeusik maupun Cikertawana, masih dibutuhkan persetujuan Puun Cibeo selaku penasehat Puun. Tangkesanlah yang mengaur tata cara pengangkatan dan pemberhentian pejabat-pejabat hukum adat itu.

Untuk penghidupannya, Puun disediakan sebidng tanah buat berladang, seperti halnya tanah bengkek bagi Kepala Desa. Biasanya ladang Puun dikerjakan secara gotong royong oleh rakyatnya.

Berdasarkan cerita yang ditutur turun-temurun, Puun adalah keturunan “Perdaleum” (semacam bupati). Puun Cikeusik merupakan keturunan Perdaleum Janggala yang diberi kekuasaan mengurus alam dan manusianya dengan dititik beratkan kepada sifat-sifat kejujuran. Karena itu Cikeusik harus menjadi contoh dalam soal kejujuran.

Puun Ciokertawana dianggap keturunan Perdaleum Lagondi yang diberi tugas dalam bidang ilmu kebatian atau perdukunan, namun didak mempunyai kewenangan dalam kekuasaan. Karena itu, diantara ke tiga Puun, posisi Puun Cikertawana terendah. Sedangkan Puun Cibeo merupakan keturunan Perdalem “Sang Seda Hurip” yang diberi kekuasaan mengurus kehidupan manusia dalam bidang pertania yang bersumber kepada Sanghiyang Asri Pohaci. Maka Cibeo-lah rujukan untuk mencukupi pangan.

Dalam bidang keagamaan, Puun dibantu oleh Girang Seurat, semacam pendeta. Sedangkan di bidang hukum adat “ataupun hal-hal yag berkaitan dengan pemerintahan adat baik kedalam dan keluar” pekerjaan Puun dilaksanakan oleh Jaro Tangtu.

Para pembantu “Dewan” Puun lengkapnya adalah Tanggugan Jaro Dua Belas yang berkeduduka di Kaduketer, tiga jaro Tangtu yang berada di tiga kampung Tangtu, serta jaro Tujuh di wilayah Penamping. Masig-masing adalah Jaro Tujuh Cihulu, Jaro Tujuh Cibengkung, Jaro Tujuh Cihandam, Jaro Tujuh Kamancing, Jaro Tujuh Cilenggor, Jaro Tujuh Nungkulan, Jaro Tujuh Panyaseukan.

Masyarakat Baduy……….

Juga tunduk pada pemerintahan Indonesia. Pengakuan ini ditunjukan pada ketaatan mereka pada Jaro Kanekes yang sekaligus menjadi Kepala Desa berkedudukan di Kaduketug.

Setiap kali usai panen setahun sekali,mereka bahkan selalu memberi “:Persembahan” kepadaa pejabat resmi pemerintahan dalam sebuah tradisi yang mereka sebut “Seba”. Saat itulah warga Baduy akan beriring-iring berjalan tanpa alas kaki datang pada Residen Lebak, Bupati Rangkasbitung dan Camat Leuwidamar.

“Setiap warga Baduy mengumpulkan padi dan gula merah untuk diberikan sebagai bukti kesetiaan kepada “Bapak Gede”, papar Jaro Kainteu dari Cikeusik yang mulutnya merah karena mengunyah sirih.

Jaro Asrap adalah Kepala Desa Kanekes yang baru. Dalam melaksanakan tugasnya, ia dibantu oleh seorang Carik (Juru tulis desa), tiga orang Pangiwa serta kepala RT-RT di setiap kampung. Lantaran tak seorangpun Penduduk Baduy yang baca tulis, maka untuk jabatan juru tulis desa itu diangkat penduduk dari luar. Saat ini carik itu adalah Ukang Sukarna, warga desa Cisimeut.

Pemilihan Kepala Desa Kanekes selama ini adalah wewenang Puun sepenuhnya. Puunlah yang berhak mengangkat dan memberhentikan Jaro Kanekes. Sedangkan Bupati Rangkasbitung hanya mengesahkan dan memberi surat keputusan pengangkatan dan pemberhentianya.

Untuk memelihara keamanan di kasan Baduy, ABRI menempatkan seorang aparatnya sebagai pembina. Selain itu, masyarakat Baduy mempunyai 23 orang Baresan yang siap mengamankan wilayahKanekes dari gangguan masyarakat luar. Masing-masing adalah Baresan Puun Cikeusik sembilan orang, Baresan Puun Cikartawana lima orang dan Baresan Puun Cibeo sembilan.

Namun hanya seorang Baresan dari setiap kampung yang boleh aktif berhubungan dengan luar. Saat ini mereka adalah Saiti, Baresan kampung Cikeusik, Daicin, Baresan kampung Cikartawana; serta Santeu, Baresan kampung Cbeo. Para Baresan lainnya hanya mengurus urusan dalam.

Struktur itu membuat pemerintahan di Baduy mendua. Seorang Jaro yang menjadi Kepala Desa Kanekes bukan hanya bertanggung jawab kepada Camat, melainkan juga kepada “Dewan” Puun. Tapi itulah Baduy.

PAMANDANGAN REKA HIAS BADUY

Masyarakat Baduy memiliki tradisi yang unik dalam mengerjakan aneka ragam kerajinan. Reka hias mereka umumnya berkisah tentang perjalanan mitos leluhur dan alam kosmos Baduy. Dalam kehidupan orang Baduy, setiap kejadian di alam semesta mempunyai nama dan makna tersendiri sera saling berhubungan.

Sering karya-karya mereka sering tampak sederhana. Namun sebenarnya reka hias Baduy merupakan karya cipta yang “tinggi” . Selain merupakan gabungan uangkapan seni Pra Hindu yang berbaur dengan kebudayaan asli setempat, reka hias itu juga mewakili sikap hidup masyarakat Kanekes yang menyimpan ribuan tabu.

Lihat bagaimana orang Baduy berpakaian. Mereka selalu mengenakanbaju putih, dengan ikat kepala berwarna putih pula. Sedangkan golok tak pernah ketinggalan terselip dipinggang. Ditambah dengan dan profil wajah mereka yang terkesan kaku, penampilan orang Baduy tampak spesifik.

Semua itu merupakan cermin sikap bersahaya orang Baduy. Mereka tak ingin berbeda dengan sesamanya. Mereka bahkan tak ingin beda dengan “ dan justru ingn mengikuti dan melestarikan jalan hidup” lelurnya. Mereka berskukuh untuk sedapat mungkin bersahabat dan hdup dengan alam, serta bukan mengeksploitasinya.

Dengan cara hidup demikian, seni meupakan bagian dari keseharian mereka. Bagi mereka, berolah seni memang untk mengisi waktu luang. Namun sekaligus juga sebagai pernyataan dalam mempertahankan sejarah perjalanan dan nilai-nilai kehidupan mereka sendiri.

Maka dikala senggang, para wanita Baduy asik menenun kain. Uumnya mereka melakukannya di bale-bale dangau, dengan menggunakan “pakara”, alat tenun mereka yang sangat sederhana. Ambu Kainteu, warga kampung Cikeusik, mengaku lebih sering menenun di ladang.

“Lamun ninun disaung huma mah leuwih bagus wae” (Pokonya, hasil tenunan di dangau lebih baik), paparnya dalam logat sunda yag kental. Hayalannya tentang jenis-jenis tertentu tanaman maupun binatang pemberiannya inspirasi soal motif tenunan itu.

Sementra itu, kaum lelaki Baduy umumnya merajut tas “jarog” atau Koja, tas hasil rajutan tali-tali yang dijalin dan terbuat dari kulit kayu teureup. Mereka juga yang merajut jala untuk menangkap ikan, serta mengukir batan bambu yang dijadikan tempat air.

Seperti tutur Puun Ajal di suatu huma beberapa tahun lalu, reka hias Baduy penuh dengan simbol-simbol sakral. Simbol-simbol tersebut ditorehkan tuk menjadi pesan bagi masyarakatnya, sekaligus memperindah barang-barang milik orang Baduy.

Seragam pandangan masyarakat Baduy, nilai-nilai ajaran Sunda Wiwitan dituangkan melalui karya seni itu. Dengan itulah mereka mengingatkan dirinya sendiri “juga pemakai karya-karya itu” perihal asal muasal mereka, perihal alam lingkungan yang dimukimi berbagai “Roh” pelindung dan penyusah, juga tentang Pohaci Sang Hiyang Asri yang mereka yakinibersemayan di Kahyangan.

Ini namanya “Waroge”, hiasan utuk keperluan melindungi huma,ata Jaro Runtah. Waroge itu adalah torehan-torehan yang berisi simbol-simbol doa keselamatan. Dikatakannya, torehan itu harus dibuat degan telitisesuai dengan adat Baduy “supaya Nyi Pohaci Sang Hiyang Asri tidak setiap kali orang Baduymembuka lhan untuk pertanin, saat itulah meek membaca mantera dari waroge tersebut. Di situ pula digambarkan prosesi upacara “nukuh” yang dilaksanakan untk mengusir para Dangiang mahluk halus yang diyakini menguasai daerah tersebut.

Menurut mereka , para Dangiang biasanya berdiam pada pepohonan besar. Setelah pohon tersebut ditebang dalam upacara nukuh ini , diharapkan paa Dangiang ini pindah untuk melindungi huma beserta isinya.

Lama kelamaan sayapun bertambah karib dan kagum padahias ini. Dimata saya, karya-karya orang Baduy itu merupakan karya yang luhur serta kaya ungkapan budaya tradisi mereka. Bentuknya memang sederhana, tapi memang kesederhanaan itulah yang mewakili kehidupan masyarakat Baduy yang terus memegang teguh serta mewujudkan segenap keyakinannya dalam perilaku sehari-hari.

BADUY EMPAT PULUH

Selama ini ada anggapan umum bahwa jumlah orang baduy hanya 40 orang. Anggapan itu sangat bertentangan dengan kenyataan. Jumlah orang Baduy yang tersebar di tiga kampung Tangtu maupun kampung-kampung Panamping sudah jauh lebih besar dari angka itu.

Menurut para tetua adat Baduy, memang ada mitos yang hingga kinimasih diyakini orang Baduy yang menyebut angka 40. Menurut mereka, ketika Kerajaan Pajajaran diserang oleh Prabu Kiansantang untuk di Islamkan, Prabu Pucuk Umum dan 40 orang pengikutnya melarikan diri ke Gunung Karang. Mereka menolak dan enggan meninggalkan agama leluhurnya.

Di tempat pengasingan itu Pucuk Umum beserta 40 orang pengikutnya yang setia itu menghilang (ngahyang) menjadi siluman, penunggu dn penghuni hutan Gunung Karang yang berwujud Arca.

Karena itulah orang Baduy akan marah bila disebut keturunan 40 orang yang mereka sebut telah menjadi siluman itu. Menurut kepercayaan orang Baduy, setelah menghilang menjadi siluman, para pengikut Pucuk Umum menjelma menjadi hama-pertanian , dan hama yang merusak kebutuhan hidup manusia.

Namun yang memunculkan anggapan bahwa orang Baduy hanya berjumlah 40 orang, menurut beberapa “baris kolot” Baduy adalah sensus di zaman Hindia Belanda. Ketika itu pemerintah kolonial memerlukan data jumlah penduduk untuk kepentingan pungutan pajak. Mereka lalu mengirim utusan untuk mencatat jumlah penduduk Baduy.

Ketika datang ke kampung Legok Ramayan, utusan itu menanyakan kepada seorang “kolot” kampung, ada beberapa jumlah penduduk di daerah itu, maka dijawablah oleh kolot itu dengan hanya perkiraan saja, “Ayameureun opat puluh mah” ( ada barangkali empat puluh orang) , jawabnya.

Waktu itu jumlah penduduk Baduy memang masih sedikit. Sedagkan petugas tak mau berupaya lebih lanjut, mempercayai saja angka itu. Ia melaporkan kepada pemerintah Belanda bahwa penduduk Baduy itu jumlahnya hanya 40 oang. Masyarakat Baduy lalu diminta membayar pajak sesuai angka itu.

Jumlah penduduk Baduy jelas terus bertambah. Dari waktu ke waktu selalu muncul kampung babakan (kampung baru). Dalam satu kampug pun, jumlah mereka sudah melebihi angka 40, bahkan ada yang ratusan jiwa.