Selasa, 13 Januari 2009

ARTEFAK BADUY




OJOL BARTER DAN PERNIAGAAN

Sejak masa lampau orang Baduy sebenarnya telah berkomunikasi dengan masyarakat luar. Untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari seperti minyak kelapa, garam , ikan asin, pakaian, biasanya mereka seminggu sekali pergi ke pasar Kroya atau Cibengkung untuk “Ojol” (barter) dengan hasil kerajinan tangan dan hasil hutan tradisional rotan, lilin, lebah madu.

Hasil pertanian yang sejak dulu menjadi komoditas mereka ialah gula aren dan pisang. Hasil alam itu kemudian mereka tukarkan dengan “nilai” yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Bagi orang Baduy, pasar memiliki dua fungsi, selain sebagai tempat bertransaksi, juga menjadi pusat berkomunikasi dengan masyarakat luar. Perkembangan zaman yang semakin pesat, serta semakin seringnya berhubugan dengan masyarakat luar membuat masyarakat Baduy juga mulai meninggalkan praktek “Ojol” menjadi system yang lebih praktis : jual-beli. Maka sekarang uangpun merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Baduy sehari-hari.

Keterbatasan kemampuan berhitung tidak mengambat aktivitas mereka. Masyarakat luar “bahkan penjaja” umumnya tak keberatan untuk membantu mereka menghitung. Kadang beberapa penduduk kampung sekitar Cikeusik, Cibeo dan Cikertawana juga datang ke kampung Baduy menjajakan beberapa bahan-bahan pokok yang diperlukan.

BADUY, RAWAYAN, DAN TANAH SEJUTA LARANGAN

Istilah Baduy dipakai karena seringnya kata itu dipakai untuk menamai penghuni tanah Kenekes tersebut. Pada mulanya sebutan Baduy sangat tidak disukai oleh mereka yang sudah ratusan tahun turun temurun menetap di kawasan itu. Mereka lebih senang disebut “Urang Kanekes” uarang Rawayan dari pada “Baduy” / Rawayan, sebenarnya adalah jembatan bambu yang menghubungkan antara satu kampung dengan kampung lainnya.

Namun istilah Baduy selalu dipakai oleh masyarakat luar untuk menyebut mereka. Sedangkan mereka selalu mengistilahkan orang luar sebagai “orang Eslam”, lantaran masyarakat yang bermukim di luar desa Kanekes seluruhnya beragama Islam.

Secara tradisional masyarakat Baduy di bagi menjadi dua kelomok. Pertama adalah masyarakat “Kajeroan” atau “Tangtu” yang sering disebut sebagai Baduy dalam. Kedua adalah masyarakat “panamping” atau “Dangka” yang biasa disebut sebagai Baduy Luar. Yang membedakan keduanya adalah ketaatan pada pkukuh adat.

Orang Baduy Tangtu lebih taat dalam menjalankan semua “Pikukuh” adat, rukun adat serta agama Sunda Wiwitan yang mereka peluk. Sedangkan orang Baduy Luar adalah masyarakat yang karena berbagai alasan telah banyak mengingkari bahkan melanggar aturan adat, karena itu mereka tidak dibolehkan lagi bermukim di kampung Baduy Dalam.

Ada tanda-tanda tertentu yang harus dibuat bila seorang Baduy Luar masuk ke kampung Baduy Dalam. Tanda tersebut berupa rumput alang-alang yang diikat di jalan setapak, sebagai bukti mereka telah menginjak tanah suci leluhurnya.

Bagi mereka ,”Pikukuh” leluhur tidak terbanth serta tak boleh luntur dlam era apapun. Ketaatan dalam menjalankan pikukuh adat serta ketaatan warga Baduy tangtu pada agama dan adat leluhur warisan nenek moyang terasa jelas dalam pelaksanaan berbagai upacara ritual.

Antra lain upacara “Kawalu” serta “Muja ke Sasaka Domas”. Begitu juga dlam proses “mengobati” padi, yang semarak penuh tuturan serta diiringi pantun bermusik rendo dan tiupan karinding. Sebuah upacara yang mereka maksudkan untuk memuliakan dewi padi, Sri Pohari Sanghyiang Asri.

Kengganannya “karena alasan adapt” berdabtasi pada dunia luar pula yang menyebabkan orang Baduy hidup dengan cara bertaninya sendiri. Mereka terus bertahan menjadi peladang lahan kering di bukit-bukit, serta pantang mengolah sawah. Karena itulah kadang batas antara tanah masyarakat Baduy dan “orang Eslam” ditandai dengan batas antara tanah sawah dengan ladang kering.

PUUN, JARO DAN KEPALA DESA

Dalam kehidupan sosial masyarakatnya, Baduy Tangtu dipimpin oleh seorang Puun. Puun merupakan pimpinan tertinggi. Segala keputusannya merupakan hukum yang harus ditaati oleh seluruh warga Baduy.

Puun Cikeusik merupakan Puun yang dituakan. Walaupu demikian, segala keputusan harus disetujui bersama oleh tiga Puun, atau setidaknya disetujui oleh Puun Cibeo yang bertugas sebagai penasihat Puun Cikeusik.

Jabatan Puun diwariskan secara turun-temurun. Puun yang diyakini masyarakatnya sebagai keturunan Batara (Dewa) sangat dihormati dan disegani. Sedangkan peritahnya tidak terbantah. Masa jabatannya tidak terbatas biasanya, bisa sampai meninggal dunia. Namun bisa juga Puun mengundurkan diri karena usianya telah lanjut.

Puun Ajal sudah menjadi Puun Cibeo beberapa puluh tahun. Dia megatakan sebenarnya sudah ingin diganti. Menurutnya, beban yang ditanggungnya berat. Dialah yang menjadi rujukan masyarakatnya sehari-hari, selama dua puluh empat jam. Mulai dari memimpin upacara yang paling sakral seperti zirah ke Sasaka Domas, hingga tempat bertanya soal segala hal.

Puun-lah yang memberikan nama pada setiap anak Baduy yang baru lahir, menetapkan hari baik kapan menanam padi serta kapan “ ngalanjak” (berburu) untuk upacara Kawula. Semua itu merupakan tugas rutin Puun.

Puun dingakat oleh lembaga tetua adat yang disebut Tangkesan setelah dihitung secara teliti menurut ilmu kebatian oleh Dukun Pengasuh. Untuk pengangkatan Puun Cikeusik maupun Cikertawana, masih dibutuhkan persetujuan Puun Cibeo selaku penasehat Puun. Tangkesanlah yang mengaur tata cara pengangkatan dan pemberhentian pejabat-pejabat hukum adat itu.

Untuk penghidupannya, Puun disediakan sebidng tanah buat berladang, seperti halnya tanah bengkek bagi Kepala Desa. Biasanya ladang Puun dikerjakan secara gotong royong oleh rakyatnya.

Berdasarkan cerita yang ditutur turun-temurun, Puun adalah keturunan “Perdaleum” (semacam bupati). Puun Cikeusik merupakan keturunan Perdaleum Janggala yang diberi kekuasaan mengurus alam dan manusianya dengan dititik beratkan kepada sifat-sifat kejujuran. Karena itu Cikeusik harus menjadi contoh dalam soal kejujuran.

Puun Ciokertawana dianggap keturunan Perdaleum Lagondi yang diberi tugas dalam bidang ilmu kebatian atau perdukunan, namun didak mempunyai kewenangan dalam kekuasaan. Karena itu, diantara ke tiga Puun, posisi Puun Cikertawana terendah. Sedangkan Puun Cibeo merupakan keturunan Perdalem “Sang Seda Hurip” yang diberi kekuasaan mengurus kehidupan manusia dalam bidang pertania yang bersumber kepada Sanghiyang Asri Pohaci. Maka Cibeo-lah rujukan untuk mencukupi pangan.

Dalam bidang keagamaan, Puun dibantu oleh Girang Seurat, semacam pendeta. Sedangkan di bidang hukum adat “ataupun hal-hal yag berkaitan dengan pemerintahan adat baik kedalam dan keluar” pekerjaan Puun dilaksanakan oleh Jaro Tangtu.

Para pembantu “Dewan” Puun lengkapnya adalah Tanggugan Jaro Dua Belas yang berkeduduka di Kaduketer, tiga jaro Tangtu yang berada di tiga kampung Tangtu, serta jaro Tujuh di wilayah Penamping. Masig-masing adalah Jaro Tujuh Cihulu, Jaro Tujuh Cibengkung, Jaro Tujuh Cihandam, Jaro Tujuh Kamancing, Jaro Tujuh Cilenggor, Jaro Tujuh Nungkulan, Jaro Tujuh Panyaseukan.

Masyarakat Baduy……….

Juga tunduk pada pemerintahan Indonesia. Pengakuan ini ditunjukan pada ketaatan mereka pada Jaro Kanekes yang sekaligus menjadi Kepala Desa berkedudukan di Kaduketug.

Setiap kali usai panen setahun sekali,mereka bahkan selalu memberi “:Persembahan” kepadaa pejabat resmi pemerintahan dalam sebuah tradisi yang mereka sebut “Seba”. Saat itulah warga Baduy akan beriring-iring berjalan tanpa alas kaki datang pada Residen Lebak, Bupati Rangkasbitung dan Camat Leuwidamar.

“Setiap warga Baduy mengumpulkan padi dan gula merah untuk diberikan sebagai bukti kesetiaan kepada “Bapak Gede”, papar Jaro Kainteu dari Cikeusik yang mulutnya merah karena mengunyah sirih.

Jaro Asrap adalah Kepala Desa Kanekes yang baru. Dalam melaksanakan tugasnya, ia dibantu oleh seorang Carik (Juru tulis desa), tiga orang Pangiwa serta kepala RT-RT di setiap kampung. Lantaran tak seorangpun Penduduk Baduy yang baca tulis, maka untuk jabatan juru tulis desa itu diangkat penduduk dari luar. Saat ini carik itu adalah Ukang Sukarna, warga desa Cisimeut.

Pemilihan Kepala Desa Kanekes selama ini adalah wewenang Puun sepenuhnya. Puunlah yang berhak mengangkat dan memberhentikan Jaro Kanekes. Sedangkan Bupati Rangkasbitung hanya mengesahkan dan memberi surat keputusan pengangkatan dan pemberhentianya.

Untuk memelihara keamanan di kasan Baduy, ABRI menempatkan seorang aparatnya sebagai pembina. Selain itu, masyarakat Baduy mempunyai 23 orang Baresan yang siap mengamankan wilayahKanekes dari gangguan masyarakat luar. Masing-masing adalah Baresan Puun Cikeusik sembilan orang, Baresan Puun Cikartawana lima orang dan Baresan Puun Cibeo sembilan.

Namun hanya seorang Baresan dari setiap kampung yang boleh aktif berhubungan dengan luar. Saat ini mereka adalah Saiti, Baresan kampung Cikeusik, Daicin, Baresan kampung Cikartawana; serta Santeu, Baresan kampung Cbeo. Para Baresan lainnya hanya mengurus urusan dalam.

Struktur itu membuat pemerintahan di Baduy mendua. Seorang Jaro yang menjadi Kepala Desa Kanekes bukan hanya bertanggung jawab kepada Camat, melainkan juga kepada “Dewan” Puun. Tapi itulah Baduy.

PAMANDANGAN REKA HIAS BADUY

Masyarakat Baduy memiliki tradisi yang unik dalam mengerjakan aneka ragam kerajinan. Reka hias mereka umumnya berkisah tentang perjalanan mitos leluhur dan alam kosmos Baduy. Dalam kehidupan orang Baduy, setiap kejadian di alam semesta mempunyai nama dan makna tersendiri sera saling berhubungan.

Sering karya-karya mereka sering tampak sederhana. Namun sebenarnya reka hias Baduy merupakan karya cipta yang “tinggi” . Selain merupakan gabungan uangkapan seni Pra Hindu yang berbaur dengan kebudayaan asli setempat, reka hias itu juga mewakili sikap hidup masyarakat Kanekes yang menyimpan ribuan tabu.

Lihat bagaimana orang Baduy berpakaian. Mereka selalu mengenakanbaju putih, dengan ikat kepala berwarna putih pula. Sedangkan golok tak pernah ketinggalan terselip dipinggang. Ditambah dengan dan profil wajah mereka yang terkesan kaku, penampilan orang Baduy tampak spesifik.

Semua itu merupakan cermin sikap bersahaya orang Baduy. Mereka tak ingin berbeda dengan sesamanya. Mereka bahkan tak ingin beda dengan “ dan justru ingn mengikuti dan melestarikan jalan hidup” lelurnya. Mereka berskukuh untuk sedapat mungkin bersahabat dan hdup dengan alam, serta bukan mengeksploitasinya.

Dengan cara hidup demikian, seni meupakan bagian dari keseharian mereka. Bagi mereka, berolah seni memang untk mengisi waktu luang. Namun sekaligus juga sebagai pernyataan dalam mempertahankan sejarah perjalanan dan nilai-nilai kehidupan mereka sendiri.

Maka dikala senggang, para wanita Baduy asik menenun kain. Uumnya mereka melakukannya di bale-bale dangau, dengan menggunakan “pakara”, alat tenun mereka yang sangat sederhana. Ambu Kainteu, warga kampung Cikeusik, mengaku lebih sering menenun di ladang.

“Lamun ninun disaung huma mah leuwih bagus wae” (Pokonya, hasil tenunan di dangau lebih baik), paparnya dalam logat sunda yag kental. Hayalannya tentang jenis-jenis tertentu tanaman maupun binatang pemberiannya inspirasi soal motif tenunan itu.

Sementra itu, kaum lelaki Baduy umumnya merajut tas “jarog” atau Koja, tas hasil rajutan tali-tali yang dijalin dan terbuat dari kulit kayu teureup. Mereka juga yang merajut jala untuk menangkap ikan, serta mengukir batan bambu yang dijadikan tempat air.

Seperti tutur Puun Ajal di suatu huma beberapa tahun lalu, reka hias Baduy penuh dengan simbol-simbol sakral. Simbol-simbol tersebut ditorehkan tuk menjadi pesan bagi masyarakatnya, sekaligus memperindah barang-barang milik orang Baduy.

Seragam pandangan masyarakat Baduy, nilai-nilai ajaran Sunda Wiwitan dituangkan melalui karya seni itu. Dengan itulah mereka mengingatkan dirinya sendiri “juga pemakai karya-karya itu” perihal asal muasal mereka, perihal alam lingkungan yang dimukimi berbagai “Roh” pelindung dan penyusah, juga tentang Pohaci Sang Hiyang Asri yang mereka yakinibersemayan di Kahyangan.

Ini namanya “Waroge”, hiasan utuk keperluan melindungi huma,ata Jaro Runtah. Waroge itu adalah torehan-torehan yang berisi simbol-simbol doa keselamatan. Dikatakannya, torehan itu harus dibuat degan telitisesuai dengan adat Baduy “supaya Nyi Pohaci Sang Hiyang Asri tidak setiap kali orang Baduymembuka lhan untuk pertanin, saat itulah meek membaca mantera dari waroge tersebut. Di situ pula digambarkan prosesi upacara “nukuh” yang dilaksanakan untk mengusir para Dangiang mahluk halus yang diyakini menguasai daerah tersebut.

Menurut mereka , para Dangiang biasanya berdiam pada pepohonan besar. Setelah pohon tersebut ditebang dalam upacara nukuh ini , diharapkan paa Dangiang ini pindah untuk melindungi huma beserta isinya.

Lama kelamaan sayapun bertambah karib dan kagum padahias ini. Dimata saya, karya-karya orang Baduy itu merupakan karya yang luhur serta kaya ungkapan budaya tradisi mereka. Bentuknya memang sederhana, tapi memang kesederhanaan itulah yang mewakili kehidupan masyarakat Baduy yang terus memegang teguh serta mewujudkan segenap keyakinannya dalam perilaku sehari-hari.

BADUY EMPAT PULUH

Selama ini ada anggapan umum bahwa jumlah orang baduy hanya 40 orang. Anggapan itu sangat bertentangan dengan kenyataan. Jumlah orang Baduy yang tersebar di tiga kampung Tangtu maupun kampung-kampung Panamping sudah jauh lebih besar dari angka itu.

Menurut para tetua adat Baduy, memang ada mitos yang hingga kinimasih diyakini orang Baduy yang menyebut angka 40. Menurut mereka, ketika Kerajaan Pajajaran diserang oleh Prabu Kiansantang untuk di Islamkan, Prabu Pucuk Umum dan 40 orang pengikutnya melarikan diri ke Gunung Karang. Mereka menolak dan enggan meninggalkan agama leluhurnya.

Di tempat pengasingan itu Pucuk Umum beserta 40 orang pengikutnya yang setia itu menghilang (ngahyang) menjadi siluman, penunggu dn penghuni hutan Gunung Karang yang berwujud Arca.

Karena itulah orang Baduy akan marah bila disebut keturunan 40 orang yang mereka sebut telah menjadi siluman itu. Menurut kepercayaan orang Baduy, setelah menghilang menjadi siluman, para pengikut Pucuk Umum menjelma menjadi hama-pertanian , dan hama yang merusak kebutuhan hidup manusia.

Namun yang memunculkan anggapan bahwa orang Baduy hanya berjumlah 40 orang, menurut beberapa “baris kolot” Baduy adalah sensus di zaman Hindia Belanda. Ketika itu pemerintah kolonial memerlukan data jumlah penduduk untuk kepentingan pungutan pajak. Mereka lalu mengirim utusan untuk mencatat jumlah penduduk Baduy.

Ketika datang ke kampung Legok Ramayan, utusan itu menanyakan kepada seorang “kolot” kampung, ada beberapa jumlah penduduk di daerah itu, maka dijawablah oleh kolot itu dengan hanya perkiraan saja, “Ayameureun opat puluh mah” ( ada barangkali empat puluh orang) , jawabnya.

Waktu itu jumlah penduduk Baduy memang masih sedikit. Sedagkan petugas tak mau berupaya lebih lanjut, mempercayai saja angka itu. Ia melaporkan kepada pemerintah Belanda bahwa penduduk Baduy itu jumlahnya hanya 40 oang. Masyarakat Baduy lalu diminta membayar pajak sesuai angka itu.

Jumlah penduduk Baduy jelas terus bertambah. Dari waktu ke waktu selalu muncul kampung babakan (kampung baru). Dalam satu kampug pun, jumlah mereka sudah melebihi angka 40, bahkan ada yang ratusan jiwa.













Senin, 12 Januari 2009

baduy

Minggu, 11 Januari 2009

WELCOME
SELAMAT DATANG

TREE OF LIFE SCULPTORS CAMP 2009
HUTAN BETON DAN MANUSIA KAMPUS



Di Indonesia serta berbagai belahan dunia, pohon kehidupan telah menjadi mitos turun temurun dari satu generasi ke generasi lainnya tersebar dari pedalaman Kalimantan hingga ke candi Prambanan. Merupakan sebuah kekayaan budaya rupa masa lalu yang luar biasa. Pohon hayat , Pohon Kehidupan, Kalpawreksa., Kekayon, Gunungan, Batang Garing nama yang diberikan masyarakat pendukungnya. Niscaya mempunyai relasi dengan budaya rupa masyarakat kontemporer. Hutan yang telah dieksplotasi, dilindungi, dihuni, dibentuk ataupun dikelola juga menjadi sarang konflik dan kepentingan serta menimbulkan berbagai pertanyaan. Pembubuhan reka hias pada Kalpataru yang dieksplotasi dapat menjadi sumber inspirasi yang sangat estetik dilandasi kepedulian masyarakat kampus akan kelestarian lingkungan hidup. Kehidupan berkesenian, khususnya dalam pembuatan monumen Kalpataru sebenarnya menggambarkan hutan melalui motif perlambangannya.

Hutan adalah tempat lahirnya berbagai budaya asli termasuk manusinya yang berupaya menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang terus berkembang. Hutan turut berperan dalam memperlambat proses pemanasan global dan mampu menyerap karbon. Artinya sebagai titik temu para pelaku industri, jasa, insan pemerintah dan oknum lainnya, hutan merupakan ruang multidimensi sekaligus tempat berkumpulnya berbagai problematika hubungan antara manusia dan alam bahkan antara sesama manusia menyangkut alam. Dikarenakan rumitnya permasalahan yang timbul, hutan sebenarnya telah menawarkan jawaban atas pertikaian polimek tentang berbagai masalah yang terjadi baik secara umum maupun khusus.

Bagaimana caranya untuk menyelaraskan perkembangan dengan efek jangka panjang, eksplotasi dengan pelestarian, dampak terhadap masyarakat setempat dengan tujuan umum?

Pameran dan Workshop ini memberikan gambaran tentang kekayaan mitos Kalpataru sebagai pohon kehidupan. Sebagai wahana penyadaran dalam menemukan masalah dan pemecahan



PEWARNA ALAMI

Dari kalpataru terinspirasi sebuah ekspresi dalam seni pertunjukan dan sebuah fashion back to nature,hal ini terjadi pada sebuah peluncuran perbaikan patung kalpataru di UNJ rawamangun,Acara ini diisi dengan seni pertunjukan tari disertai musik gamelan BALI oleh para mahasiswa dan mahasiswi dari jurusan Seni Rupa dan Seni Tari sekaligus sebagai ajang ujian akhir semester.Kolaborasi ini sebagai embrio dari seni budaya terpadu.

kegiatan ini sebagai wujud kepedulian sosial masyarakat kampus(CSR) terhadap lingkungan.




Ringkasan2.jpg
Artikel ini merupakan artikel kedua dalam penelitian tentang potensi bambu, dan bertujuan memberikan rekomendasi bagi pengembangan bambu sebagai bahan penting untuk produk industri. Penelitian ini mengulas tiga faktor penting untuk pendaya-gunaan bambu: (a) kontribusi teknologi maju bagi peningkatan kualitas material bambu; (b) pendaya-gunaan sumber daya manusia (SDM) melalui penerapan teknologi hybrid; dan (c) inovasi desain bagi produk bambu yang dapat menjangkau pasar secara lebih luas. Situasi masa kini memerlukan suatu analisis faktor yang menuntut perubahan dalam metoda penyediaan bahan baku, produksi dan distribusi, dan penggunaan material dan desain produk bambu.

HARI NUGRAHA, DUDY WIYANCOKO, YASRAF AMIR PILIANG
Desain Angklung Tradisional dan Modern. (Hal. 15 - 30).

Ringkasan3.jpg
Penelitian ini dibuat dengan dasar pemikiran bahwa angklung merupakan produk budaya milik Indonesia. Tujuannya adalah untuk mencari bentuk dari proses perubahan desain angklung, khususnya yang ada di Jawa Barat. Dengan melakukan kajian komparatif terhadap beberapa jenis angklung berdasarkan periode tertentu dalam masyarakat Sunda, akan diperoleh perubahan karakteristik desain angklung, baik pergeseran makna simbolik, cara memainkan, proses pembuatan, bentuk fisik maupun bentuk pertunjukannya. Studi memaparkan proses perubahan awal (a) desain angklung buhun dari masyarakat Sunda peladang dengan sistem kepercayaan Sunda wiwitan dan Hindu. Selanjutnya adalah perubahan bentuk angklung akibat (b) pengaruh budaya Islam hingga (c) pengaruh oleh pola pikir dan sistem pendidikan musik Barat (Belanda). Dari pengaruh yang ada, desain angklung mengalami beberapa perubahan bentuk dan fungsi. Angklung yang awalnya memiliki fungsi ritual-transenden untuk tujuan rohani spiritual, begeser untuk tujuan pendidikan, pengenalan budaya tradisi melalui pertunjukan dan komersialisasi.

RIAMA MASLAN SIHOMBING, YASRAF AMIR PILIANG, A.D. PIROUS
Citraan Perempuan di Internet: Kajian Tanda Dan Kode Visual. (Hal. 31 - 44).

Ringkasan31.jpg
Populernya penggunaan internet merubah citraan perempuan, yang sebelumnya sering sebagai obyek pasif, terdominasi, dan bergantung, kini menjadi subyek yang aktif dalam media dan sanggup menentukan citranya sendiri. Penelitian ini untuk membuktikan bahwa fenomena ini benar terjadi melalui kajian terhadap 17 contoh situs yang berkaitan dengan perempuan. Situs tersebut dipilih dan dianalisis kode visualnya. Dalam artikel ini hanya disampaikan 7 kasus yang paling menunjukkan bahwa citraan perempuan di internet kini telah berkembang ke berbagai karakter, yaitu perempuan sebagai figur yang: aktif, bebas dan intelektual. Ketujuh kasus tersebut sebagian besar adalah situs tentang perempuan yang dibuat di Amerika. Kajian ini menggunakan metode semiotik dan analisis visual, yakni dengan memahami tampilan visual situs sebagai sistem tanda.

HARMEIN KHAGI, VELIX SUTANTO, KUSPRASAPTA MUTIJARSA, BRAM PALGUNADI, OEMAR HANDOJO

Desain Produk Robot Pencari Korban Bencana Gempa Bumi. (Hal. 45 - 56).

Ringkasan37.jpg
Penelitian didasari pemikiran bahwa peran desain produk dengan memanfaatkan teknologi robotik sangat diperlukan dalam penanganan pasca bencana di Indonesia. Melalui perspektif industrial design, penulis dan tim berupaya mengembangkan desain produk robotik dengan fungsi untuk mencari korban yang terjebak di bawah reruntuhan bangunan di area pasca bencana. Desain produk ini dinamai Viroids, merupakan autonomous mobile robot dengan kemampuan mencari korban. Proses desain dilakukan dengan pendekatan multidisiplin, yakni bidang desain produk, teknik elektro, teknik mesin, dan kepakaran di bidang penanganan pasca bencana. Produk robotik ini dilengkapi fungsi: (a) sistem penggerak dan sensor infra red untuk menghindari tabrakan; (b) kamera CCTV untuk mengenali korban;(c) lampu LEDs, speaker dan microphone untuk komunikasi. Desain Viroids ini diharapkan mampu menjangkau area reruntuhan yang sempit dengan kontur tanah tidak rata dan berpeluang untuk dikembangkan lebih lanjut oleh lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan produk industri di Indonesia.

DIAN WIDIAWATI

Pemanfaatan Limbah Sabut Kelapa sebagai Bahan Baku Alternatif Tekstil. (Hal. 57 - 64).

Ringkasan11.jpg
Penelitian ini membahas potensi tanaman kelapa sebagai suatu komoditi bernilai tinggi. Selama ini sabut kelapa digunakan sebagai bahan baku pembuatan alat pembersih dan bahan pelapis jok mobil. Melalui eksperimentasi bahan dan karakteristik fisik-visualnya, sabut kelapa ternyata dapat digunakan sebagai bahan baku tekstil alternatif. Ketersedian sabut kelapa sangat berlimpah, terutama di Desa Cibenda Ciamis, dekat Pantai Pangandaran, Jawa Barat. Pada penelitian tahap awal ini dilakukan berbagai cara pengolahan bahan limbah sabut kelapa menjadi bahan baku serat-serat tekstil, yang paling efektif sehingga mudah diterapkan pada masyarakat. Sabut kelapa selama ini masih disebut ‘limbah’ karena material tersebut merupakan sisa-sisa proses penguraian sabut yang dibuang. Program penelitian selajutnya lebih terfokus pada pengaplikasian bahan baku tekstil tersebut ke dalam produk-produk kriya dan pelatihan kepada masyarakat setempat. Diharapkan pemanfaatan limbah sabut kelapa ini akan berdampak pada pemberdayaan ekonomi masyarakat.

NAOTO SUZUKI

PROBLEMS AND DEVELOPMENT ISSUES FOR ARTISAN CRAFT PROMOTION
The Effective Promotion for Regional Development in Developing Countries (1), (hal 65-78).

Ringkasan:

suzuki-3.jpg

Artikel ini memaparkan tujuan utam a promosi kriya dalam pembangunan daerah, yakni: pengentasan kemiskinan, pelestarian budaya tradisional, dan peningkatan perdagangan negara. Selanjutnya dijelaskan tentang pengembangan kriya tradisional maupun inovatif. Berbagai masalah di tingkat kebijakan, kelembagaan, dan produsen dianalisis, misalnya: lemahnya kebijakan, intervensi pemerintah dalam pengembangan SDM, minimnya fasilitas, kurangnya pengakuan terhadap potensi kriya, rendahnya mutu, lemahnya kerjasama antar produsen, kemampuan manajemen dan desain. Kesemua ini memerlukan penanganan, antara lain: (a) Perumusan kebijakan yang bersih dan visioner; (b) Memperkuat kerja kelembagaan; (c) Mengembangkan pasar; (d) Melestarikan nilai-nilai tradisional.

Ringkasan:

suzuki.jpg

Usulan metodologi bagi formulasi pengembangan dan promosi kriya memerlukan kajian cermat. Kajian sentral dalam artikel ini adalah integrasi nilai tradisional terhadap formulasi tersebut. Artikel ini mencermati kebijakan yang diperlukan beserta manfaat master plan. Setelah itu, dikaji berbagai kegunaan lembaga pendukung, termasuk Kawasan Kriya Tradisional. Di tingkat produsen, dianalisis: konsep cluster, Layanan Pengembangan Bisnis oleh retailer internasional dan LSM, serta konsep pengembangan pasar melalui segmentasi pasar dan penetapan brand. Sebagai penutup, artikel ini membahas perlunya kerjasama publik dan swasta dalam implementasi strategi pengembangannya.

Ringkasan:

vera.jpg

Sejarah batik di Indonesia mencatat karya Carolina J. von Franquemont dari Semarang, Jawa Tengah, 1845-1867, sebagai batik yang memiliki karakter visual tersendiri dibandingkan batik-batik pesisir lainnya. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi karakteristik khas tersebut dengan mengkaji 8 jenis Batik Franquemont: (a) Batik Wayang, (b) Batik Poem, (c) Batik Wang Mu, (d) Batik Sarung Prada Emas, (e) Batik Buketan, (f) Batik Belanda, (g) Batik Wallpaper, dan (h) Batik Perang Lombok. Franquemont terkenal dengan penemuan warna “Hijau Franquemont” dari zat warna nabati tahan luntur. Selain itu terdapat tiga ciri lain yakni: (1) Motif terinspirasi dari berbagai tema dari budaya Cina, Jawa, dan Belanda; (2) Komposisi batik terbangun dari komposisi asimetri yang padat dan rumit; (3) Pola peletakan motif dengan pola cermin, tidak seperti motif-motif hasil proses printing atau cap.

Ringkasan:

ferry.jpg

Dalam perkembangan desain iklan di berbagai media massa kini, pencitraan pria dalam iklan komersil mulai populer. Bahkan sosok pria sudah mulai banyak digunakan untuk desain iklan produk untuk konsumsi perempuan. Dalam riset ini telah dianalisis 6 desain iklan dari berbagai majalah dan tabloid perempuan. Melalui analisis teks dan pendekatan semiotik, diperoleh kesimpulan bahwa citra pria dalam perkembangan desain iklan kini masih didominasi oleh nilai-nilai maskulinitas, yakni citra pria sebagai figur pemberani, gagah berotot, dan hal-hal lain yang terkait dengan figur yang aktif. Namun, konsep maskulinitas kini juga telah berkembang ke nilai-nilai figur pria yang bertanggungjawab dan berkeahlian. Bahkan meluas ke nilai-nilai yang identik dengan feminitas-metroseksual, yakni: penikmat, lembut, peduli terhadap tampilan, dan sebagainya.

Ringkasan:

syaifudin.jpg

Penelitian ini berupaya memaparkan unsur-unsur visual dalam suatu desain web. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa representasi visual (misal:citra, foto dan gambar) dalam halaman web mempunyai kekuatan yang lebih tinggi dibanding representasi verbal (teks) dalam menggerakkan interaksi antara web dan pemirsanya. Melalui kajian literatur dan pengamatan terhadap beberapa contoh desain dibuktikan bahwa representasi visual tersebut dapat dipahami melalui aspek tatapan (gazing), pembingkaian (framing) dan sudut pandang (angle), agar tujuan-tujuan interaksi dapat terpenuhi, misalnya: (1) Tampilan foto atau gambar mata yang menatap akan mampu menyiratkan nilai ekspresi manusia dalam bersosialisasi; (2) pembingkaian atas tampilan atribut-atribut khas pemilik web akan memberikan karakter dan identitas web, dan; (3) penentuan sudut pandang dapat menentukan jauh dekatnya relasi antara penjual, pembeli dan pemirsa.